Putri,
seorang gadis yang memiliki keinginan menjadi seorang penulis. Hari demi hari
ia lewati dengan penuh semangat sekalipun ia tidak merasakan kasih sayang
seorang ayah. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci di rumah tetangga. Sedangkan
adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Put
maafkan ibu yang tidak bisa membiayai sekolahmu sampai perguruan tinggi” kata
Ibu ketika mereka selesai menunaikan ibadah sholat isya.
Putri
tersenyum, lalu “ndak papa kok bu, Putri akan giat belajar. Supaya Putri bisa
ikut beasiswa.”
Putri
memang anak yang kuat dan sabar, meski keluarga serba berkecukupan namun ia
tetap bisa merasakan sekolah di SMA favorit. Sejak ayahnya meninggal dunia, ia
membantu ibunya bekerja di mini market dekat sekolah.
*****
Bel
pulang sekolah berbunyi, kali ini Putri tidak langsung ke mini market malainkan
pulang ke rumah. Tiba-tiba perasaan Putri tak enak, apalagi ketika ia melihat
orang-orang ramai berlari ke arah rumahnya.
Betapa
terkejutnya Putri saat meliahat rumah yang selama ini menjadi satu-satunya
tempat berteduh kini terbakar. Air mata yang selalu tersimpan rapat di hadapan
orang seolah tak malu untuk menetes dengan mudahnya.
Ibu
yang tampaknya lemah tak berdaya mendekati anak sulungnya, dengan erat ia
mendekap. Semua orang di sekitar ikut terharu dan berbondong-bondong membantu,
berharap masih ada sesuatu yang bisa di harapkan.
Hati
kecil Putri bertanya pada sang maha perkasa, “Ya Allah, sekuat apakah hamba?
Hingga kau beri cobaan seberat ini,” betapa tidak dahulu ia harus kehilangan
seorang Ayah dan kini harus kehilangan tempat tinggal keluarga kecilnya.
“Yang
sabar Put” seorang wanita yang usianya tak jauh berbeda dari ibu memeluknya
perihatin.
“Bibik,
paman” saut Putri ketika melihat wajah yang tak asing dihadapannya.
“Sekarang apa yang Putri harus
lakukan bik?” tanya Putri mencoba untuk kuat dan sabar. Putri tak ingin
kesedihannya berlarut, karena ia tau ibu dan adiknya masih terpukul dan hanya
dia satu-satunya harapan yang harus bangkit memberi kekuatan.
*****
Setelah
kejadian kebakaran itu, Putri, adik dan ibunya di kasih tempat tinggal
sementara oleh warga setempat. Awalnya mereka akan di bangunkan rumah di tanah
mereka sendiri, tempat kejadian kebakaran. Namun paman tidak setuju karena
usulnya setelah Putri lulus SMA, Putri, adik dan ibunya akan di bondong ke
Bandung untuk tinggal bersama. Jadi kepala Desa memutuskan akan memberikan
tempat tinggal sementara.
Waktu
terus berjalan, kini Putri sudah lulus SMA dan pindah ke Bandung. Suasanapun
baru namun tidak membuat Putri lupa akan kenangan di Desa. Bahkan Putri dan
keluarga sering pulang ke Desa untuk berziarah ke makam ayah.
“Put
apa kamu tak ada niat untuk melanjutkan kuliah?” tanya paman ketika mereka
berkumpul bersama. Putri hanya tersenyum. “Sayang bila kecerdasanmu di
sia-siakan begitu saja” sambung paman.
Putri
hanya diam mendengar ucapan pamannya. Terlintas di pikiran Putri keinginan yang
dulu memotivasinya menjadi seorang penulis namun ia sadar hal yang terpenting
saat ini adalah melihat adik dan ibunya bahagia.
Ibu yang tadi hanya diam tersentak
berbicara, “Ia berharap bisa ikut beasiswa”.
“Itu bagus, paman bisa membantu
kamu!”
Dengan percaya diri Putri menolak,
“Putri bukan tidak ingin lagi melanjutkan kuliah, tapi sekarang Putri mau pokus
mengajar santri mengaji paman, bukankan itu juga hal yang mulia”
“Putri, kuliah tidak menghabiskan
waktumu. Kamu bisa membagi jadwal kuliahmu dengan mengajar santri. Paman hanya
ingin masa depanmu lebih baik dari ini”
“Terima kasih paman! Putri tau paman
peduli sama Putri tapi sepertinya untuk saat ini biarkan Putri menikmati apa
yang sudah Allah kasih. Putri yakin suatu saat nanti Putri bisa meraih
cita-cita Putri”
Tiba-tiba datang seseoarang dari
balik pintu mengucap salam. “Assalamualaikum..”
“Waalaikum salam” jawab semua yang
ada di ruangan. Putri membukakann pintu. “Pak ustat” kata Putri ketika melihat
seorang laki-laki separoh baya dengan wajah yang amat santun. Paman ikut
berdiri dan mempersilakan masuk.
Tanpa basa-basi pak ustat memberi
kabar bahwa karya tulis Putri yang tak sengaja ia kirim terpilih menjadi juara.
Betapa terkejutnya Putri karya yang ia sangka hilang ternyata di ada pak Ustat.
“Maaf pak ustat sebelumnya!, kok bisa tulisan itu ada di bapak?”
Pak ustat menceritakan kronoligis ia
menemukan tulisan itu. “Begitulah ceritanya, saya pikir kumpulan apa, awalnya
ingin saya tanyakan pada Putri tapi karena saya ada urusan mendadak keluar kota
jadi tidak sempat. Selama perjalanan dan waktu kosong, saya membaca tulisan itu
dan ternyata di akhir cerita ada nama pengarang. Putri khoirunnisa, setau saya
itu nama lengkap Putri. Karena karya Putri menurut saya sangat bagus ia saya
kirim saja ke Pak Widodo yang bekerja di penerbitan.”
Kami semua bahagia, khususnya ibu
dan paman. Kelihatan sangat mereka kagum akan prestasi Putri. Sepertiga malam
Putri bangun menunaikan ibadah sholat tahajut, ia tidak lupa mengucap syukur
dan memohan jalan cita-citanya di permuda Allah SWT.
*****
Waktu yang dinanti-nanti kini telah
tiba, setelah menjadi juara dalam lomba karya tulis beberapa bulan yang lalu
oleh pak ustat, Novel Putri pun terbit dan beredar di setiap toko buku. Nama Putri
menjadi pembicaraan di media cetak dan media masa atas novel yang berjudul
Rumahku. Kisah nyata yang di angkat dari kehidupannya sendiri. Tidak hanya itu
Putri juga sudah membuat beberapa buku cerita anak.
“Terima kasih Ya Allah! Atas semua
yang telah engkau beri pada hamba. Memang akan ada hikmah di balik sebuah
permasalahan. Mungkin tanpa adanya kebakaran itu, Putri tidak akan tinggal di
Bandung dan mengenal Pak ustat yang sangat baik pada Putri”. Ucap Putri ketika
selasai melaksanakan sholat ashar di masjid. Putri terus bersyukur dan
memanjatkan doa. Pak ustat yang tak sengaja mendengar mendekati Putri.
“Allah sangat menyayangi Putri,
itulah alasan kenapa Allah memberi cobaan seberat itu pada Putri. Dan sekarang
Putri sadarkan bahwa setiap yang terjadi itu pasti ada balasannya. Sekarang ini
adalah hasil dari kesabaran Putri. Ya bisa kita bilang mutiara di ujung badai”
“Wah bagus sekali pak ustat
kata-katanya, mutiara di ujung badai”
“Jangan bilang Putri mau buat cerita
dan judulnya Mutiara di ujung badai”
Putri
dan pak ustat pun kompak tertawa.
SELESAI